Aku hapal Pancasila, hapal banget. Ngelotok luar kepala dari jaman SD. Dulu map yang buat baca teks Pancasila di sekolahku udah rusak, kertasnya sobek. Dan saya sering ditunjuk jadi petugas upacara, baca Pancasila alasannya ialah saya salah satu siswi yang hapal luar kepala. Nilai PMP ku selalu 9, hingga mata pelajarannya berubah jadi PPKN, nilaiku nggak pernah di bawah angka delapan.
Minggu kemarin ada Pekan Pancasila, wogh ikut juga dong saya pajang hestek sana sini #SayaPancasila #SayaIndonesia.
Tapi.. benarkah saya seorang yang Pancasila?
Aku yang masih sering ngajak teman nasrani untuk main aja di hari ahad pagi. Aku yang masih sering klik 'share' sembarangan berita-berita yang kebenarannya belum pasti-tapi potensi memecah persatuannya luar biasa dahsyat. Aku yang menentukan membisu ketika sahabatku takut berangkat misa natal, ketika ibadahnya dijaga ketat polisi, takut dengan saudara seimanku.
Aku yang masih sering asal publish status, nggak peduli tulisanku penuh kebencian dan sumbu-sumbu perpecahan. Aku yang masih sering takut duduk akrab orang Indonesia timur alasannya ialah mereka populer kriminal. Aku yang masih suka pilih-pilih teman alasannya ialah cewek sunda itu pelit, cewek padang apalagi. Aku yang merasa agamaku sebagai mayoritas, maka mengabaikan rasa hormat pada sahabat-sahabatku yang minoritas. Aku yang pernah ikut-ikutan mejauhi teman sekelas hanya alasannya ialah ia Cina. Aku yang masih sering mengkhianati kebhinekaan.
**
Kemarin, saya duduk bersama 100 netizen lain di gedung Nusantara IV, MPR RI. Masih dalam rangkaian Pekan Pancasila, diselenggarakan kegiatan Netizen Ngobro bareng MPR RI. Bapak Ma'ruf Cahyono, Sekjen MPR RI, bilang begini: Kita jangan hanya membunyikan Pancasila, tapi juga membumikannya. Pancasila seharusnya bukan hanya ucapan, tapi juga hingga ke kesadaran dan tindakan.
Pak Zulkifli Hasan, ketua MPR RI, bilang, "Ayo gunakan sosial media untuk merangkul bukan memukul". Duh, kena banget pak, kena. Sebagai seorang yang aktif di dunia maya, rasanya akad untuk menyerbarkan konten faktual seringkali saya sabung sendiri. Klik tombol share ialah hal yang super-super-super mudah, dan semudah itulah juga menyebarluaskan kebencian. Persatuan kita, kebhinekaan kita, pertaruhannya ada di ujung jempol. Di halaman-halaman sosial media kita.
Sebagai blogger, harusnya saya dapat ambil andil dalam membumikan pancasila. Bukan sekedar pasang tagar #SayaPancasila, kemudian sudah. Harusnya saya nggak membisu ketika sosial media jadi alat untuk merusak kebhinekaan, harusnya saya nggak membisu ketika berita-berita (yang saya tau) hoax, kemudian lalang di sosial mediaku dan menjadi benih-benih keributan. Harusnya saya nggak membisu ketika kebencian dan perpecahan, terjadi setiap hari setiap waktu di dunia maya.
Sebagai blogger, harusnya saya dapat ambil andil dalam membumikan pancasila. Bukan sekedar pasang tagar #SayaPancasila, kemudian sudah. Harusnya saya nggak membisu ketika sosial media jadi alat untuk merusak kebhinekaan, harusnya saya nggak membisu ketika berita-berita (yang saya tau) hoax, kemudian lalang di sosial mediaku dan menjadi benih-benih keributan. Harusnya saya nggak membisu ketika kebencian dan perpecahan, terjadi setiap hari setiap waktu di dunia maya.
Harusnya aku, yang setiap hari hidup di dunia maya, dapat ikut membumikan pancasila. Supaya dapat saling merangkul, bukan memukul.
Depok, 7 Juni 2017
Acara ditutup dengan sebuah puisi dari pak Ma'ruf, yang penggalannya begini, "Apakah keIndonesiaan kita telah pudar, dan hanya tinggal slogan dan gambar.". Diantara riuhnya tagar #SayaPancasila #SayaIndonesia, sebuah pertanyaan hingga ke kepalaku.. Masihkah kita Indonesia?
***
Photos taken by Indri Juwono
0 comments