Matahari lagi ganteng-gantengnya waktu jalan yang saya tapaki mulai menanjak dan membawaku ke perkampungan tertinggi di Kepulauan Selayar. Sekalipun terik, saya gak sanggup menolak impian untuk menengadahkan kepala.
Beberapa meter dari kerikil besar yang menjadi ‘gerbang’ masuk, saya dikepung rumah-rumah tinggi khas suku Bugis. Bedanya, yang ini tinggi banget. Beneran tinggi sampai-sampai mataku perih sebab menyerupai menantang matahari. Aku menarik napas dalam, senyum-senyum norak dan bilang besar hati sama diri sendiri.. akhirnya hingga juga.
“Selamat tiba di Bitombang, mbak. Perjalanan jauh, ye?”
Seorang bapak berbalut kaos dan kain sarung menyambutku dengan senyum. Kepala desa. Kata ye di simpulan kalimatnya, mengisyaratkan bahwa ia orisinil Selayar. Seraya berbagi sebelah tangan, saya diajak naik ke bukit yang lebih tinggi, menuju pintu masuk rumah-rumah yang mengusik rasa penasaranku semenjak tadi.
Perkampungan Tua Bitombang, namanya. Desa sopan santun tertua di kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Demi hingga ke sini, saya harus melewati 21 jam perjalanan lintas 3 kota dan tidur ngemper di lantai bandara segala. Sendirian. Gak apa-apa, kan memang gitu yang namanya pencapaian. Kalo kata pepatah mah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Walau kadang jadinya malah bersakit-sakit dahulu, ditikung orang kemudian. Pungky!!!
Beberapa meter dari kerikil besar yang menjadi ‘gerbang’ masuk, saya dikepung rumah-rumah tinggi khas suku Bugis. Bedanya, yang ini tinggi banget. Beneran tinggi sampai-sampai mataku perih sebab menyerupai menantang matahari. Aku menarik napas dalam, senyum-senyum norak dan bilang besar hati sama diri sendiri.. akhirnya hingga juga.
“Selamat tiba di Bitombang, mbak. Perjalanan jauh, ye?”
Seorang bapak berbalut kaos dan kain sarung menyambutku dengan senyum. Kepala desa. Kata ye di simpulan kalimatnya, mengisyaratkan bahwa ia orisinil Selayar. Seraya berbagi sebelah tangan, saya diajak naik ke bukit yang lebih tinggi, menuju pintu masuk rumah-rumah yang mengusik rasa penasaranku semenjak tadi.
Perkampungan Tua Bitombang, namanya. Desa sopan santun tertua di kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Demi hingga ke sini, saya harus melewati 21 jam perjalanan lintas 3 kota dan tidur ngemper di lantai bandara segala. Sendirian. Gak apa-apa, kan memang gitu yang namanya pencapaian. Kalo kata pepatah mah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Walau kadang jadinya malah bersakit-sakit dahulu, ditikung orang kemudian. Pungky!!!
Di sini, berjajar rumah panggung khas suku Bugis yang tingginya mencapai 10 – 20 meter. Tapi, nggak perlu naik tangga untuk masuk ke dalamnya. Karena berada di bukit berbatu yang permukannya nggak rata, potongan depan rumah cuma setinggi 2 – 3 meter aja.
Uniknya lagi, rumah-rumah panggung ini berusia lebih dari 100 tahun. Wow ya. Saking tuanya, kayu-kayu penyangga sudah diselimuti lumut, atau tai anging dalam bahasa setempat. Aku ngakak pas pertama denger tai anging, ya ampun otakku emang kotor banget.
Enggak takut rapuh? Nggak, soalnya kayu yang digunakan ialah bitti. Salah satu jenis kayu yang banyak tumbuh di sekitar kampung, yang katanya memang punya kualitas dan kekuatan terbaik. Kaprikornus bila kau terbiasa bersakit-sakit dahulu ditikung orang kemudian, mungkin harus banyak-banyak ngemil kayu bitti, semoga setrong.
Pun dengan pallanga, atau batu-batu yang menyangga para tiang, dipercaya ikut menjaga kekokohan rumah-rumah tersebut.
Sekalipun listrik sudah usang masuk, suasana desa sopan santun ini tetap sunyi dan syahdu. Aktifitas yang terlihat ialah warga bercocok tanam, menjemur hasil kebun, atau bawah umur yang sedang melongok di jendela sambil menyungingkan senyum. Jalanan juga sudah beraspal, tapi sama sekali nggak mengurangi keaslian bebatuan yang membangun alamnya. Asik deh, betah lama-lama di sini.
Aku bertamu ke salah satu rumah, mencicipi sendiri bagaimana berada di bangunan setinggi 20 meter. Sang pemilik rumah, seorang bapak yang juga pakai kain sarung dan kaos, memamerkan potongan atap rumahnya yang penuh dengan hasil bumi.
“Di sini, kami jarang beli. Semuanya tanam sendiri, makan kami dari hasil tanah sendiri,” jelasnya seraya menunjuk besar hati tumpukan jagung yang ia simpan.
“Hasil tanah sendiri, termasuk materi baku membuat rumah, ya, pak?” tanyaku penasaran.
“Iye, itu kenapa rumah kami kuat-kuat, sebab kami percaya sama hasil alam,” jawabnya mantap.
Penduduk Perkampungan Tua Bitombang kebanyakan menghabiskan hidupnya untuk bercocok tanam. Bercocok tanam beneran ya, bukan bercocok tanam: bila udah cocok pribadi ditanam, sayang mah sanggup belakangan.
Hasilnya tanamnya, digunakan buat menyambung hidup sendiri. Enggak, nggak cuma sekedar buat makanan pokok, tapi hingga ke obat-obatan, pakan ternak, dan kayu-kayu untuk bangkit rumah, semuanya hasil kebun sendiri. Secara alam, kampung ini memang dikepung hutan yang lokasinya berada di dataran tinggi. Tanahnya subur banget. Realita dari lirik lagu "Tanah kita tanah surga..". Kaprikornus barangkali kau sudah lelah mencari jodoh, tanam aja cintamu di sini, siapa tau tumbuh pohon jodoh saking suburnya. Kan asyik jodoh tinggal metik. Lukata jambu aer.
Napasku terasa lebih segar di sini, setiap hirupnya ialah nyaman dan menyenangkan. Soalnya, selain aneka vegetasi yang mengepung, di sini nggak banyak kendaraan bermotor yang kemudian lalang. Cuma ada beberapa milik warga untuk sarana pergi ke kota.
Hubungan yang mesra dengan bumi dan alam, membuat kearifan tersendiri di kampung ini. Beriringan dengan rumah panggung yang berpengaruh hingga tua, penduduknya juga banyak yang hidup melewati usia 100 tahun! Banyak lho, nggak cuma satu dua orang gitu. Wow ya wow.
Hubungan yang mesra dengan bumi dan alam, membuat kearifan tersendiri di kampung ini. Beriringan dengan rumah panggung yang berpengaruh hingga tua, penduduknya juga banyak yang hidup melewati usia 100 tahun! Banyak lho, nggak cuma satu dua orang gitu. Wow ya wow.
Semacam muncul keyakinan, bahwa keharmonisan hidup bersama bumi, sanggup mengalirkan energi baik yang memperpanjang usia. Ikatan yang berpengaruh antara insan dengan tanahnya.
Purwokerto, ramadhan, 2017
Tujuh kilometer dari kota Benteng, inilah Perkampungan Tua Bitombang. Menyambut siapapun yang tiba dengan senyum asri pepohonan, udara yang segar, hubungan insan dan bumi yang mesra, serta kearifan khas Indonesia.
***
Semua foto ialah milik pribadi. Dilarang memakai tanpa ijin.
0 comments