Ini Perihal Mangrove Tapak Dan Semarang


Photo taken by Dimas Suyatno

"Beneran ini kita masih di Semarang? Ya ampun anggun banget tempatnya!"

Aku duduk setengah oleng di atas perahu, menyesap aroma asin khas pesisir dan busuk anyir air payau. Antara percaya dan enggak, hutan mangrove yanga saya masuki waktu itu, berada di tepi kota Semarang. Aku gres tau jika Semarang punya hutan mangrove, lebih gres tau lagi ternyata tempatnya indah. Rimbun dan asri.

Iya memang sekuper itulah saya sebenernya, makanya iyain aja jika lagi ngaku-ngaku gaul. Biar cepet.

"Di sini ada buaya pak?"

Tanyaku pada bapak yang menahkodai bahtera kami. Ya kali kan ternyata selain menyimpan tempat indah begini, Semarang juga menyimpan Crocodylus Porosus. Kan jadi lawak kita susur mangrove bareng Yaya (istilah gemes untuk buaya). Si bapak cuma senyum, tanpa jawaban. Mungkin dalam hatinya beliau bertanya-tanya, ini ngapain dedek-dedek cari buaya.

Paragraf di atas nggak penting emang, cuma pengen aja sanggup menyebut diri sendiri dengan: dedek. HAHA Biarin aja biarin.


Photo taken by Oomndut
Semakin masuk semakin enak, begitu kira-kira apa yang saya rasakan waktu itu. Enak dipandang, gitu. Ih mikir apa kalian?

Karena asli, pemandangannya keren! Semakin bahtera masuk ke dalam hutan, dahan-dahan mangrove semakin rimbun membentuk atap-atap alam. Suasananya tenang, cuma air payau yang hijau, cicitan burung-burung laut, ditambah sesekali hilir pulang kampung yuyu di tepi air. Suer, saya hingga lupa jika ini masih di Semarang!

Belum selesai hingga di situ, di ujung hutan, kita akan disambut dengan cahaya terang. Rasanya kayak keluar dari kegelapan rimba dan nemu kehidupan; segar! Mungkin begini ya rasanya jadi tarzan jika ketemu indomaret, sesudah dikepung hutan kemudian sanggup pemandangan mewah. Iya mewah, alasannya di depan, yang menyambut yaitu maritim lepas bab ujung utara kota Semarang.

Photo taken by Oomndut

Mangrove Tapak namanya, ecotourism yang berada di dukuh Tapak, kelurahan Jatirejo, kecamatan Tugu, Semarang. Dikelola oleh pokdarwis (kelompok sadar wisata) Bina Tapak, hutan mangrove ini dibuka jadi objek wisata yang seru sekaligus edukatif di pesisir Semarang. Aku sanggup punya kesempatan untuk berkunjung dan berguru di sini, murni rejeki. Rejeki alasannya saya diundang oleh Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS), bersama 19 blogger lainnya, dalam acara bertajuk #FamtripBlogger2017.

Bilang apa? Alhamdulillah...


Setelah mengarungi lautan luas selama... beberapa menit, kami diajak menuju pulau Tirang untuk menanam mangrove. Ada 3 jenis mangrove yang dipelihara di sini: Rizophora (bakau), Avicennia Marina (api-api) dan Bruguiera. Jadi, salah banget jika banyak orang menganggap mangrove itu sama dengan bakau. Yang betul, bakau itu salah satu jenis mangrove. Sengaja saya jelaskan begini supaya... saya keliatan pinter. Itu aja sih. HAHA
 
Nah yang siang itu ditanam oleh kami di pulau Tirang yaitu Avicennia Marina, atau populer juga sebagai Grey Mangrove. Kalau di Indonesia, terkenalnya dengan Api-api. Namanya anggun yah? Avicennia Marina. Bisa jadi wangsit nama anak, dipanggilnya Cenia. Mangrove satu ini termasuk dalam famili Acanthaceae, alasannya jika famili SUV, nanti namanya jadi Avifortuner Marina.

"Menanam mangrove itu ibadah, mba. Buat bumi, dan buat sesama manusia. Mangrove ini keuntungannya berbagai untuk bumi, banyak juga untuk manusia. Kaprikornus jika beliau tumbuh besar dan bermanfaat, mba sudah ibadah banyak."

Penuh senyum, mas Arifin (penduduk lokal yang jadi pemandu kami) mengompori saya untuk ikut menanam mangrove. Harus dikomporin emang, alasannya siang itu saya kebanyakan cari alasan semoga nggak ikutan nanam. Bukan apa-apa, menanam mangrove itu gali pasirnya pakai tangan kosong, dan air higienis adanya di bahtera yang mana harus jalan agak jauh ke tepi pulau. Tiba-tiba aja jiwa princess dalam diriku bergelora, nggak mau kotor.

Kaprikornus percayalah, foto yang akan kalian lihat berikut ini, murni pencitraan. Mana ada nanam mangrove tangannya higienis gitu 😒😒😒


Biarpun cuma pencitraan, tapi saya caranya lho! Begini nih:
Gali lubang di pasir sedalam 15cm, lepas mangrove dari polybag, kemudian tanam. Kalau ada akar yang berantakan, sanggup dipotong, tinggal dipotek aja gitu. Kalau nggak mau melepas polybag pun, sanggup cuma dirobek aja bab bawah polybagnya. Gampang banget sebenernya sih, nggak pakai tenaga sama sekali alasannya yang digali kan pasir. Sekarang saya rada menyesal kenapa nggak ikut menanam barang satu dan ikut sedekah sama bumi Semarang. huhu

Setelah semua Avicennia Marina rapi ditanam, kami mengakhiri sesi menafkahi bumi siang itu dengan apalagi jika bukan narsis hingga senep? Ada pungky pula, ya niscaya plus boomerang-an hingga senep. Biarpun panas terik, tapi semua senang, semua menikmati serunya berguru menanam dan merawat mangrove siang itu.

Photo taken by Dimas Suyatno

Lalu sesudah cekikan rauwis-uwis, kami balik memakai bahtera yang sama menuju daratan Semarang.
Sambil kita menyusuri lagi hutan mangrove menuju pulang, kusambungkan sedikit cerita, ya. Cerita yang saya sanggup dari mas Arifin ihwal Semarang dan mangrove.

Jadi, Pulau Tirang yang kita singgahi tadi, ternyata dulunya cukup luas dan punya sejarah sendiri bagi kota Semarang. Malah, beberapa dongeng menyebutkan jika akhiran 'Rang' pada Semarang punya sangkut paut dengan akhiran 'Rang' pada Tirang. Aku kurang ngeh sejarah detilnya gimana, yang pasti, pulau ini pernah jadi tempat singgahnya Ki Pandaranan pada masa silam.

Kalian tau kan jika saya ini pinternya cuma gaya doang? Kaprikornus plis jangan nanya Ki Pandaranan itu siapa 😂

Tapi di tahun 90an, pulau Tirang rusak alasannya reklamasi, kemudian pernah juga dihajar cuaca ekstrem. Ditambah lagi reklamasi di Kendal, ikut menggerus dataran di sini. Dari yang dulunya luas, kini tinggal seuprit. Bahkan dulu pulau ini punya 2 sumber mata air tawar dan kini hilang sama sekali.

Akhirnya, warga berinisiatif untuk melaksanakan konservasi. Ditanamilah mangrove untuk melindungi daerah tambak. Karena tambak ini kan yang menghidupi masyarakat pesisir, ya. Mangrove dipakai untuk menyerap emisi dan menjaga daratan dari abrasi. Ntap, ya.

Tahun 2015, dibuat pokdarwis Bina Tapak untuk menjaga dan mengelola daerah hutan mangrove ini. Nah jadilah kini ecotourism Mangrove Tapak supaya masyarakat luas sanggup melihat dan berguru pribadi soal mangrove dan pelestarian daerah pesisir. Mereka menyediakan paket wisata dengan harga yang berdasarkan saya sih terjangkau banget.

Photo taken by Oomndut
Kisaran 50 - 150ribu (sesuai jarak tempuh perahu), sudah sanggup menyusuri betapa indahnya perairan payau di pesisir Semarang. Belajar ihwal mangrove pribadi di tempatnya. Itu harga buat satu perahu, lho. Isi 6 orang. Sudah termasuk sepatu boots, life jacket dan welcome drink. Tapi enggak sanggup ijig-ijig dateng pribadi jalan, ya. Harus pesan dulu dari jauh hari alasannya pokdarwis kan harus menyiapkan bahtera dan orang-orang yang akan bertugas.

Semuanya terasa baik dan menyenangkan, hanya aja satu hal yang sangat menganggu aku. Ada satu titik yang menumpuk banget sampah. Katanya sih sampah dari laut, terbawa arus ke pinggir. Kebanyakan plastik, dan bekas kemasan makanan dan minuman ringan. Kita beneran harus berhenti buang sampah ke maritim lho gaes. Itu nggak keren sama sekali dan betul-betul merusak. Kasian lautnya, kasian perairan payaunya, kasian ikan-ikan dan burungnya, kasian mangrovenya :(


Purwokerto, 14 Mei 2017

Salam hormatku untuk warga dukuh Tapak. Kalian berbagai berinfak untuk bumi. Sehat terus ya pak, bu. Terimakasih sudah menanam dan merawat mangrove untuk Semarang.


0 comments