Melunasi Tanjung Puting



Dua tahun lalu, jembatan kayu ini pernah saya tulis di blog. Waktu itu Tanjung Puting masih dalam bentuk mimpi, harapan yang saya uapkan bersama Adit. Kutulis bahwa suatu hari, saya akan bangkit di sana. Berjalan pelan-pelan memasuki daerah paling kuinginkan di Borneo: Camp Leakey. Dua hari lalu, apa yang kami uapkan dikabulkan Gusti. Aku duduk di sana, di jembatan kayu yang dua tahun lalu, masih berwujud impian. Setelah penantian 600 hari lebih, aku, akhirnya, melunasi Tanjung Puting.

“Dit, gue mau ketemu orang utan langsung!”
“Ya sana ke Tanjung Puting”
“Jauh, nyet”
“Yaudah nyicil aja dulu”
“Nyicil apaan?”
“Nyicil doa kek, duit kek, perjuangan kek, apa kek. Ntar juga lunas”
“Hmm..”

Dua tahun kemudian kami mencoba satu cara yang agak gila. Aku ikut lomba blog dengan hadiah: pergi gratis kemanapun kita mau, asal Indonesia. Jelas saya menulis Tanjung Puting. Pada goresan pena itu jembatan kayu Camp Leakey kugambarkan baik. Jalur setapak yang akan mengantarku bertemu orang utan di habitat aslinya.

Kami menulis berdua. Bermalam-malam kami chatting untuk menggodok artikel itu. Entah di sana Adit menggerutu kayak apa, saban malam dirusuh mamah muda kebanyakan pengin. Kami diskusi banyak hal soal orang utan, soal konservasi, soal kebun binatang, soal hutan hujan, dan soal pup-nya orang utan yang mengandung ribuan bibit tanaman. Adit jorok banget emang, yang diinget yang gitu-gitu mulu. 


Untuk pertama kalinya, satu goresan pena saya buat dalam waktu satu minggu. Kami riset banyak hal, dari mulai kasus-kasus pemburuan orang utan, data-data soal hutan hujan, hingga bagaimana indahnya Sekonyer dan Camp Leakey. Karena ya gimana dong, kami nulis Tanjung Puting tapi belum pernah ke sana sama sekali. Segala deskripsi dalam artikel, yaitu hasil kami baca berhalaman-halaman goresan pena orang. Sisanya boleh ngarang.

Aku share goresan pena itu di sosmed, yang doain menang, buanyak! Aku mengaminkan semuanya, kuanggap itu sebagai salah satu cicilan. Doa dari orang-orang yang tau, betapa saya betul-betul pengin ke Tanjung Puting.


Tapi ternyata kami kalah. Tulisan itu nggak memberangkatku kemana-mana, satu kesempatan menguap gitu aja. Aku duka banget. Awalnya jadi partner diskusi artikel, Adit tiba-tiba berubah jadi lapak curhat mamah muda gagal menang lomba. Kalau beliau dapat milih, mungkin beliau akan ambil opsi nggak pernah kenal aja sama aku. Tapi sayang, kami ditakdirkan berteman. Dan mamah muda ini selain banyak pengin, juga tukang maksa. Selamat ya, Dit.

Setelah kekalahan itu, saya menjaga artikel itu baik-baik di tempatnya. Biasanya, jikalau kalah lomba, artikel akan saya edit, supaya kesannya bukan ikut lomba, gitu. Lha buat apa wong udah kalah. Tapi khusus artikel itu beda, bahkan hingga hari ini, segalanya masih sama menyerupai dua tahun lalu. Utuh, tanpa edit satu katapun. Judulnya aja masih jual dagangan orang hingga sekarang. Sungguh mahmud dermawan.

Karena ya sekeras itu keinginanku atas Tanjung Puting. Aku mau artikel itu (beserta keasliannya), jadi saksi bahwa saya pernah mencoba walaupun gagal. Aku pernah berusaha. Tulisan itu yaitu cicilan pertamaku untuk pergi ke Borneo.

Maret 2016, sebuah status kulayangkan di halaman facebook. Lagi-lagi dalam perjuangan mencicil Tanjung Puting, pengaminan kembali berdatangan. Aku sama sekali belum tau gimana caranya pergi ke sana, biayanya sama sekali nggak murah. Aku cuma tau, saya nggak berhenti mencicil. 

Tepat September kemarin, kesannya kutemukan jalanku. Sebuah blog competition dengan hadiah super-tepat: Trip Ke Tanjung Puting, Gratis! Aku baca pengumuman lomba itu pelan-pelan, deg-degan, sambil tarik napas dalam, saya yakin inilah cicilan terakhirku menuju lunas.

Lagi-lagi Adit. Hahahaha maaf ya, Nyet! Dia semalam suntuk saya ajak diskusi soal artikel kami kali ini, persis menyerupai dua tahun lalu. Dia yang saya teror tengah malam untuk bahas betapa omong kosongnya aksi-aksi Save Orang Utan. Dia yang senep saya miskolin jikalau lagi wasap tapi balesnya lama. Dia yang baper, alasannya bahasan orang utan kami mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. HAHAHAHA

Seminggu setelahnya, Gusti melunasi seluruh cicilanku. Namaku betul-betul keluar sebagai pemenang. Lagi nyuapin anak makan malam, saya eksklusif sujud syukur. Aku, dinyatakan berhak atas perjalanan gratis ke Tanjung Puting. Mimpiku untuk pergi ke Borneo: Tunai! 

Percayalah, mimpi berhak untuk dilunasi. Sepanjang apapun daftarnya, setiap mereka punya jalan tempuh sendiri-sendiri. Gusti maha punya, maha segala. Nggak ada yang nggak mungkin bagi Dia. Kita hanya perlu mencicil dengan usaha, dengan doa, dengan kepasrahan, dengan keyakinan. Biar Gusti yang melunasi, supaya Gusti yang membuatnya tunai.

** 

10 Desember 2016, saya bangkit di Tanjung Puting. Di atas kelotok, menyusuri sungai Sekonyer, berjalan di jembatan kayu menuju Camp Leakey, menjalani apa-apa yang pernah saya impikan dulu.  Untuk semilyar kali, maturunuwun Gusti ingkang widhi.



Adit, makasih ya. Makasih udah membantu gue mencicil mimpi yang satu ini. Menemani beliau menempuh jalannya menuju tunai. Makasih untuk membawakan gue kepercayaan, orang utan masih dapat dibela. Makasih untuk 2 tahun yang sangat keren untuk kita.

Dan setinggi langit terima kasih, saya kirimkan juga untuk Beborneotour dan Phinemo. Mas Wicak dan Mas Indra. Makasih untuk jalan yang baik, untuk kesempatan yang mewah, untuk mengakibatkan Borneo terasa sangat dekat. Berjanjilah untuk selalu senang. Gusti memberkahi kalian.

Dan untuk teman-teman yang bantu mencicil doa, keyakinan, dan kepercayaan bahwa saya niscaya pergi. Terimakasih, ya :)
Aku dan Adit :)

Purwokerto,2 hari sehabis Tanjung Puting, 2016


Wombat, pelan-pelan, diam-diam, teruslah menggali...
***

Note: Fotoku dan Adit bukan untuk ditiru, ya! Bayi orang utan dilarang sembarangan digendong manusia. Hanya diperkenankan dalam keadaan tertentu, dan oleh orang-orang tertentu. Kodrat mereka digendong ibunya, di hutan hujan :)

0 comments